Apa Itu Takut?

Refleksi @DusunBambu

Dunia ini, banyak hal yang tidak bisa dipastikan. Dunia ini dinamis, terus berubah, dan tidak diam. Jadi, banyak hal yang terus berubah. Manusia cenderung takut pada ketidakpastian. Lalu apakah manusia tidak takut pada kepastian?

Sebut saja kematian. Kematian itu pasti. Manusia tetap takut pada kematian karena itu sesuatu yang pasti. Namun, yang tidak pasti adalah kapan waktunya mati, manusia kembali terjerat dalam ketakutan. Sebetulnya kematian selalu mengintai setiap momen.

Manusia melihat, mendengar, membau, mengecap, dan merasakan, semua itu menjadi tumpukan informasi yang nanti akan menjadi bahan referensi. Pengalaman manusia dibentuk dari semua itu, dalam konteks buddhis juga mencakup pengalaman-pengalaman dari kehidupan sebelumnya.

Celakanya, ada orang yang sering menganggap referensi masa lalu itu selalu benar! Ini bahaya, referensi masa lalu hanya bisa menjadi masukan saja, jangan langsung menjatuhkan kesimpulan bahwa itu selalu benar. Jika Anda menganggap referensi masa lalu selalu benar, maka Anda dalam masalah besar.

Keabadian

Ada sebuah mekanisme di dalam otak yang menginginkan keabadian (mortality). Kalau bisa, segala sesuatu stay the same forever. Contoh, kalau beli sepatu baru, kalau bisa sepatu itu selalu baru dan bisa terus berfungsi selama-lamanya. Itulah harapan, namun faktanya sering berlawanan.

Besok lusa, sepatu itu dikencingin anjing, maka meletuslah Gunung Merapi. Sang anjing yang lugu itu pun menjadi sasaran amukan. Mengapa demikian? Barangkali kita tidak mau repot membersihkannya. Ada keinginan agar sepatu itu seperti sedia kala, berharap sepatu itu tidak rusak atau tidak mengalami perubahan.

Sekarang cakupan objeknya boleh diperluas. Bayangkan barang kesayanganmu, HP? Komputer? Boneka? Lukisan? Apa saja. Pikiran Anda selalu memunculkan harapan agar semua barang itu tidak berubah, bila perlu sang kekasih juga selalu tidak berubah, mencintai selamanya, tentu saja itu tidak mungkin.

Tidak Terima

Cinta itu bagaikan makhluk hidup, jadi bisa tumbuh juga bisa mati. Berharap cinta tetap hidup tapi Anda tidak merawatnya, tidak memberikan pupuk, air, dan matahari secukupnya, malahan lebih sering merusaknya. Cinta itu tidak bisa berlangsung lama.

Ketika cinta harus berakhir, Anda tidak terima! Anda ingin cinta itu selalu seperti sediakala. Derita muncul sebetulnya bukan karena cinta itu berakhir, tapi harapan akan cinta itu berlangsung selama-lamanya. Anda tidak mau menerima perubahan, Anda tidak siap menerima ketidakpastian hari-hari berikutnya.

Ada rasa takut yang begitu besar, takut tidak mendapat orang sebaik itu lagi, takut lika-liku perjalanan selanjutnya. Takut untuk memulai dari awal lagi. Karangan cerita pikiran akan terus berlanjut bahkan cukup sulit dihentikan.

Cara Menerima

Tugas pertama untuk bisa menerima adalah cooling down atau istilah teknisnya Samatha. Cara sederhana bisa dilakukan melalui mengamati napas, curahkan perhatian pada napas masuk dan napas keluar yang selalu kekinian. Inilah cara mengistirahatkan pikiran pada napas. Ini merupakan cara mengalihkan pikiran kepada sesuatu yang damai.

Lain cerita kalau ada orang yang mengalihkan pikiran ke distraksi lewat main game, makan, shopping dan sebagainya, ini sih teknik penguburan (cover up). Dia mengubur rasa takut itu, seperti api dalam sekam, tapi nanti juga akan muncul lagi, jadi cara-cara distraksi sudah jelas bukan solusi baik.

Meditasi adalah menyiapkan diri untuk membuka diri. Menenangkan diri agar punya kekuatan untuk merangkul luapan emosi. Jika jatuh ke dalam teknik penguburan, maka dia bisa segera berhenti, ada kesempatan untuk meredakan api dalam sekam itu.

Meditasi selalu mulai dari napas dan relaksasi badan jasmani. Jika seseorang mengulang teknik ini terus-menerus, maka dia bisa melakukannya walaupun tidak sedang duduk di atas bantal meditasi, dia sudah mahir melakukannya. Namun dari waktu ke waktu perlu kembali lagi ke bantal meditasi untuk memperkuat kemampuan itu.

Melepaskan

Ketenangan dari meditasi melahirkan kejernihan, dari sinilah lahir kemampuan menerima. Jangan berharap seseorang bisa menerima jika emosi sedang meluap, pikiran sedang tidak ada di sini dan saat ini. Pikiran menjadi lemah ketika berlari-lari terus ke masa depan dan masa lalu.

Kekuatan menerima muncul dari mengistirahatkan pikiran di sini dan saat ini. Menerima itu butuh energi, sementara Anda memboroskan energi lewat cemas, membuat karangan cerita dalam pikiran, membayangkan berbagai skenario masa depan, dan terus terkurung oleh pengalaman masa lalu.

Menerima itu bahasa lain dari melepas (letting go). Kekuatan kewawasan (mindfulness) atas kondisi masa kini menghadirkan kejernihan, dalam kejernihan seseorang bisa bertindak lebih waras, tindakan yang dibarengi dengan kejernihan memiliki kualitas lebih tinggi.

Menjadi Petualangan

Setelah menerima kondisi ketidakpastian itu secara parsial atau sepenuhnya, maka rasa takut pun mulai berkurang. Hidupmu menjadi sebuah petualangan, apa pun yang terbentang di depan akan menjadi sebuah misteri untuk diketahui, bukan untuk ditakuti.

Apa pun yang belum datang biarkanlah dia datang, karena itu adalah misteri. Tugas kita adalah mempersiapkan hati untuk menyambutnya. Apa pun yang telah pergi biarlah dia pergi, karena itu sudah menjadi memori. Tugas kita adalah berulang kali melepaskannya. Melepas adalah kebahagiaan.

Apa itu rasa takut? Rasa takut adalah ketidak-mampuan untuk menerima ketidak-pastian. Jika Anda sudah bisa menerima ketidak-pastian, maka hidupmu akan menjadi sebuah petualangan.

Creative Commons LicenseArtikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.

One comment on “Apa Itu Takut?

  1. Johan Mar 15, 2019 16:29

    Gan en shifu. Amituofo. 🙏

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.