Tiada masa jabatannya, yang ada hanyalah masa hidupnya

Ponsel berdering pagi itu. Waktu menunjukkan 04:00 subuh. kemarin malam saya mengatur alarm agar bisa bangun di jam segitu untuk siap-siap berangkat ke bandara. Hari itu saya mendapat jadwal mengisi Pabajja di Wihara Bhaisajyaguru di Lampung.

Taksi yang dipesan juga sudah datang lebih awal. Kok tahu? Karena aplikasi smartphone sekarang semakin hari semakin canggih, jadi koordinat posisi taksi bisa dipantau secara real time. Saya hanya membawa ransel yang berisi gawai dan laptop, kemudian meluncur ke bandara.

Ketika masuk ke dalam taksi, sang pengendara langsung menyapa dengan ramah. Kemudian memastikan nama pemesan dan tujuannya sudah benar. Sepanjang jalan menuju bandara cukup lengang, suasana pagi yang masih hening dihiasi lampu-lampu kota.

WhatsApp juga masih belum aktif. Tentu saja banyak orang yang masih berkelana di dunia mimpi. Bicara WhatsApp kadang tak lepas dari group chat, kemudian ada saja orang yang sangat rajin, setiap pagi mengirimkan kata-kata bijak atau foto yang bertuliskan selamat pagi, good morning, 早安, dan tak lupa emo smiley-nya.

Masih Meditasi
Check in pagi itu juga lancar. Saya memilih untuk menunggu di gerbang keberangkatan. Duduk santai dan melihat jadwal-jadwal yang sudah berjejer di Google Calendar. Saya selalu membayangkan ketika seseorang menjadi biksu, maka dia akan bisa santai-santai menikmati meditasi. Tampaknya itu mimpi di siang bolong.

Lalu bagaimana dong? Saya masih meditasi kok. Di setiap sela-sela waktu jeda, saya selalu memanfaatkannya untuk menerapkan beberapa teknik napas berkesadaran dan body scanning (pemindaian tubuh), kemudian sembari meditasi senyum.

Meditasi demikian bisa diterapkan sepanjang hari. Tak perlu waktu khusus. Cukup arahkan pikiran pada napas masuk dan keluar. Hadir sepenuhnya di momen kekinian dan dengan lembut menyatakan dalam hati, “Aku hadir di sini dan saat ini. Aku merasa damai hanya sekadar bernapas dengan damai. Aku izinkan seluruh badanku relaks. Aku ingin mengirimkan senyum ini ke seluruh dunia.

Kayak Pejabat
Google Calendar sangat membantu dalam penyusunan jadwal. Saya bukan sedang mempromosikan Google loh. Senang saja melihat kegiatan Dharma terus bergulir. Saya ikut mengambil bagian dalam meneruskan tugas Buddha yang belum selesai ini.

Ada seorang teman membalas WhatsApp. “Hidup Bhante sama sibuknya kayak pejabat”. Saya sedikit tergelitik dengan pesan singkat di pagi buta itu. Saya membalas, “Melebihi pejabat sekarang”.

Masih mending pejabat ada masa jabatannya, sedangkan saya tidak ada masa jabatannya. Yang ada hanyalah masa hidupnya.”

Karir Buddha
Saya senang dengan spontanitas itu. Tampaknya itulah respon natural saya atas fenomena yang terjadi pada saat itu, dan hanya saat itu saja! Setelah merespon demikian, entah mengapa saya merasa lega sekaligus bersyukur bahwa Buddha telah membabat hutan sehingga ada jalan yang indah ini agar kita semua bisa mengikuti jejaknya.

Tidak begitu banyak orang yang berani mengikuti jejak Buddha menuju dunia pertapaan. Karir Buddha seperti ini tampaknya tidak memberikan inspirasi bagi banyak orang. Ada yang menganggap itu sejenis pelarian.

Tidak apa-apa kok, awalnya saya juga pelarian. Setelah pelarian itu malah saya melihat sesuatu yang lain. Toh Siddharta juga melarikan diri dari istana. Ia memilih untuk bertapa dan mencari tahu makna terdalam dari kehidupan.

Zaman dahulu, Buddha dan muridnya memberikan banyak inspirasi sehingga dalam waktu singkat pengikutnya menjadi begitu banyak. Lantas, zaman sekarang kok sangat berbeda yah? Saya merasa perlu refleksi ulang tentang fenomena ini.

Sepi Ramai
Saya bukan orang yang loyal pada bentuk luar cara hidup monastik. Saya loyal pada esensi pertapaan. Saya merasa perlu ada waktu pertapaan yang intensif di tempat sepi agar seseorang siap untuk melanjutkan pertapaan di tempat yang ramai.

Saya sadar sepenuhnya bahwa saya harus bolak balik ke tempat sepi dan tempat ramai. Kalau berada tempat sepi terus, lama-lama saya menjadi baal. Kalau di tempat ramai terus, lama-lama distraksi menjadi tak tertahankan.

Ketika di tempat sepi saya hadir di sana secara mental. Ketika berada di tempat ramai saya juga hadir di sana sepenuhnya. Bukan sebaliknya. Ketika di tempat sepi maka harapan hati ingin pindah ke tempat ramai. Lalu, ketika berada di tempat ramai maka harapan hati ingin pindah ke tempat sepi.

Saya akan menggunakan seluruh masa hidup ini untuk terus hadir di saat ini dan di sini. Tak seperti masa jabatan yang ada masa berakhirnya. Tak juga seperti pergi ke sekolah kemudian setelah sekian tahun lalu lulus atau tamat.

Gaya Hidup
Praktik akan menjadi bagian dari gaya hidup (lifestyle). Praktik tidak hanya menghabiskan waktu 10 hari retret, lalu selesai retret Anda kembali lagi ke “pola lama”. Pergi retret hendaknya akan menjadi tonggak baru perubahan lewat menerjemahkan praktik menjadi gaya hidup sehari-hari.

Jika Anda tidak bisa menerjemahkan praktik dalam retret ke dalam kehidupan sehari-hari, maka Anda terus kembali ke pola lama. Lalu, Anda boleh renungkan apa gunanya retret?

Retret seharusnya merubah “jalur tikus” agar bisa keluar dari kebiasaan lama, mencari jalur lain. Para ilmuwan menyebutnya menciptakan neural pathway yang baru. Kejernihan batin yang dibutuhkan di setiap saat dan setiap momen kehidupan.

Creative Commons LicenseArtikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.

2 comments on “Tiada masa jabatannya, yang ada hanyalah masa hidupnya

  1. Karolina Jun 21, 2018 20:01

    Namo Buddhaya Bhante,

    Bagaimana caranya agar ketika kita sedang memainkan suatu instrumen musik, itu juga sebagai meditasi? Apakah itu tergantung dari musik yang dimainkan? Karena guru saya selalu mengatakan, dalam memainkan musik (klasik), kita harus menggunakan dan mengembangkan imajinasi kita. Apakah dengan berimajinasi kita jadi tidak hidup di sini dan saat ini?

    Terima kasih

    • nyanabhadra Jun 22, 2018 00:15

      Saya suka main gitar. Saya main gitar dalam kondisi relaks, tak ada beban pikiran masa depan atau masa lalu. Curahkan perhatian pada hal-hal kekinian, saya merasakan bagaimana feeling dari jari menyentuh senar gitar, petikan yang menghasilkan suara, membuat telinga saya aktif dan sadar.
      Saya tidak tahu imajinasi seperti apa yang dimaksud, mungkin bisa diskusi lagi dengan guru musiknya.
      Jika pikiran sibuk dalam imajinasi, nanti malah bisa keliru.
      Barangkali yang dimaksud adalah “flow” yaitu mengikuti alunan namun kehadiran pada present moment akan membuat cara bermain bisa lebih bagus karena memperkokoh dan mengaktivasi kemampuan bermain yang sudah ada dalam dirimu.
      Saya kadang tidak berpikir, tidak berimajinasi, namun saya membiarkan jari saya bergerak sesuai flow, terutama lagu2 yang sudah saya sering mainkan, dan pikiran tidak banyak ikut campur, imajinasi juga tidak banyak ikut campur, justru ada dorongan internal yang bergerak secara alami.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.