Pulau Dewata. Itulah nama lain dari Bali. Konon kepercayaan di sana bahwa di setiap jengkal tanah selalu ada dewa penghuninya. Tak heran hampir disetiap rumah memiliki tempat suci di pekarangan rumahnya, beberapa diantaranya seperti sanggah, padmasari, sanggah kemulan, atau juga Palinggih Penglurah.
Bagi saya, kehidupan spiritual Bali sangat sakral dan unik. Sebagai buddhis saya juga merasa Hindu seperti saudara dekat. Satu alasannya karena Hindu dan Buddha berasal dari leluhur India, jadi tak heran jika saya merasa ada afinitas.
Pohon Kelapa
Bukan hanya spiritual, namun masih banyak hal yang menarik. Budaya, gedung, arca, seni, dan arsitektur juga. Satu hal yang membuat saya begitu apresiasi adalah di Bali tidak ada gedung pencakar langit. Saya tidak menemukan gedung yang tingginya melebihi 3 tingkat, yang kira-kira setinggi pohon kelapa.
Tampaknya Bali merupakan satu-satunya kota yang memberlakukan prinsip itu. Salut! Saya belum menemukan ada kota lain di Indonesia yang juga menganut prinsip itu. Saya bukan orang yang anti gedung tinggi loh. Barangkali terlalu sering melihat gedung-gedung tinggi, jadi ketika berada di kota yang tidak ada gedung tingginya, serasa sangat luar biasa.
Makanan di Bali juga asyik. Ada beberapa teman yang sudah lama di sana, sehingga tahu tempat-tempat yang cocok buat saya. Maklum, saya penggemar sayur, dan memang komitmen dengan praktik vegetaris.
Nasi Padang
Saya termasuk satu dari sekian orang yang doyan makan nasi padang. Rasanya memang beda. Jika saya sudah lama di luar negeri dan berkesempatan pulang ke Indonesia, maka tak melewatkan kesempatan untuk mampir ke rumah makan padang. Bukan promosi loh, tapi saya tahu banyak diantara Anda juga doyan kan?
Walaupun menu yang bisa saya santap hanyalah beberapa saja, seperti daun singkong rebus, sayur nangka, telor bulat atau dadar, kadang ada terong, tempe orek, atau tahu. Tergantung warung padangnya juga, ada yang malahan menyediakan sayur-sayur lainnya.
Ketika di Bali juga demikian, hunting nasi padang, seru! Teman baik saya mengajak ke warung padang, dan lebih hebatnya itu warung padang vegan! Jadi penasaran menu apa saja yang disajikan.
Biksu Ya?
Si abang warung padang tampaknya binggung melihat saya. Lalu bertanya, “Maaf bertanya, Bapak ini biksu yah?” Spontan saya jawab, “Iya Bang”. Dia senyum ketawa dengan wajah terheran-heran. Saya balik bertanya, “Kenapa Bang?”
“Saya jarang melihat biksu muda seperti Bapak. Ganteng lagi! Semua biksu yang saya jumpai itu tua-tua” Jawab si Abang. Saya tidak tahu harus jawab apa, jadi senyum saja, sambil berjalan ke meja makan.
Warungnya sederhana, di tengah ada sebuah meja besar terbuat dari kayu. Kami duduk dan menikmati hidangannya. Ada tempe cabe, tahu pedas, sayur singkong, terong, dan gorengan menghiasi di pinggir dan ditengah-tengah nasi putih. Kelihatannya seperti tumpeng.
Apa rasanya nasi padang vegan? Pedas, enak, no MSG, dan juga puas! Bagi generasi micin, mungkin ini bukan makanan enak, namun bagi saya, ini justru makanan luar biasa, tidak selalu harus ada MSG agar makanan berasa enak toh.
The Young One
Kata-kata si Abang masih terngiang di otak saya saat kami pulang. Ada benarnya si Abang, kok masih muda mau jadi biksu? Bukan bagian yang gantengnya loh, itu sih relatif lah. Memang ada tradisi yang menganut paham bahwa saat tua adalah saatnya untuk menekuni spiritual lebih dalam.
Cara pandang itu persis sama dengan kakak saya yang kedua. Ia pernah marah besar, karena saya memilih karir monastik. Dia terang-terangan bilang, kalau mau jadi biksu, tunggu kamu sudah tua saja! Bukan sekarang!
Saya setuju dengan pendapat itu, tapi hanya 50% saja. Sekiranya perlu memberi kesempatan kepada the young generation untuk mencoba jalur spiritual, terutama monastik. Mumpung muda, selagi mata masih jernih, selagi pikiran masih terus berkembang, otak masih encer, dan fisik masih kuat.
Lebih Awal
Praktik monastik itu rigorous, saya belum menemukan istilah bahasa Indonesia yang tepat. Sejenis pelatihan mirip militer juga. Waktu saya di Plum Village, jadwal ketat, dan mentor selalu mengawasi. Konsistensi latihan meditasi dan napas adalah nyawa utama di sana.
Saya merasa beruntung, karena saya mulai lebih awal, saat itu saya baru berusia 28 tahun. Sekarang latihan dan non latihan menjadi lebih mudah. Namun saya juga takjub dengan monastik Plum Village yang lain, ada yang sudah mulai menjadi samanera ketika berusia 13 tahun! Dia harus berlatih sebagai samanera hingga berusia 20 tahun baru bisa ditahbiskan menjadi biksu.
Jadi, jika mau menekuni karir monastik, saran saya mulai sejak muda! Terus terang, tantangan monastik muda juga sangat besar. Bukan berarti jadi monastik itu santai-santai loh, sistem Plum Village ada yang namanya study, practice, service, and play. Semua itu adalah kombinasi elemen penyeimbang dari sisi manusiawi dan monastik.
Sampai jumpa di pintu gerbang sana!
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.
Saya tau warung padang vegan itu bhante hehhehe…..
Salut bhante, namaste 🙏
Sudah pernah makan di sana juga yah? Wah……..ternyata warung padang itu beken juga toh 🙂